“Jutaan anak menghabiskan waktu di dunia digital, di mana promosi menyatu dengan hiburan. Iklan tidak selalu muncul sebagai iklan; bisa dalam bentuk tantangan lucu, ulasan jujur, atau karakter favorit yang mempromosikan camilan manis,” jelas Rahmi.
Ia menambahkan bahwa anak-anak belum memiliki kemampuan kognitif untuk membedakan mana hiburan dan mana ajakan membeli.
Karena itu, pemerintah perlu memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat agar praktik promosi yang mengecoh dapat diminimalisir.
Nida pun menekankan pentingnya kebijakan pangan yang komprehensif, mencakup pelabelan berbasis bukti, pembatasan pemasaran produk tinggi gula, serta penerapan lingkungan pangan sehat di sekolah.